Jumat, 23 Januari 2009

Israel dan Krisis di Gaza – Saat yang menyedihkan untuk kebebasan berbicara di Indonesia

Indonesia adalah negara demokrasi baru.

Pihak yang mengikuti debat umum pada isu-isu dalam agenda Indonesia dengan mudahnya akan terkagum-kagum akan begitu cepatnya masyarakat Indonesia beralih menjadi pluralistik, masyarakat yang bersemangat dalam mengadopsi nilai-nilai dan norma-norma demokrasi.

Demokrasi bukan hanya masalah menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas setiap 4 tahun sekali. Ini adalah proses mengambil serangkaian nilai-nilai dasar, cara bertindak yang menunjukkan debat yang fair dan bebas dalam masyarakat demokratik.

Demokrasi adalah aturan yang pertama dan yang paling utama dalam mayoritas. Namun, dalam banyak demokrasi, tantangan sebenarnya dan ujian sebenarnya adalah pertanyaan sejauh mana mereka dapat bertoleransi dan terbuka terhadap minoritas yang melawannya.

Besarnya keterbukaan dan toleransi dalam masyarakat demoktratik ditantang khususnya saat suara mayoritas sedang dihadapkan pada lawan yang sama sekali bertentangan dan pandangan yang sangat berlawanan.

Sejak awal dari krisis di Timur Tengah baru-baru ini, media di Indonesia telah meliput kejadian di Gaza secara intensif. Di luar laporan tersebut, banyak komentar, analisa dan pendapat yang diterbitkan. Bukan rahasia lagi bahwa liputan kejadian di banyak media di Indonesia sangat mengecam dan bahkan sangat keras pada Israel.

Kritikan terhadap Israel sebenarnya merupakan fenomena yang sah dan kadangkala bahkan benar. Ini adalah bagian dari debat terbuka di media.

Namun, apa yang sekarang kami perhatikan dalam banyak organisasi media Indonesia, kebanyakan, meski tidak semua, menyensor sepenuhnya dan memboikot pandangan Israel, analisa Israel atas kejadian ini, narasi Israel.

Resminya, sensor ini tidak ada. Ini bukanlah sensor yang diajukan oleh seseorang; ini adalah ’sensor-mandiri’ yang dilakukan oleh berbagai organisasi media. Hasilnya adalah usaha untuk menyatakan pandangan Israel dihalangi dan diboikot oleh banyak media di Indonesia.

Saat bagian berhubungan dengan Israel, banyak media Indonesia dengan begitu saja mengabaikan prinsip utama fair play dan pentingnya keseimbangan, tidak biasnya dan pluralistiknya analisa pada peristiwa yang terjadi.

Saat banyak redaktur dihadapkan pada pernyataan ini, umumnya mereka akan menjawab: “Anda benar namun kami tidak mau mengambil resiko.”

Adalah pendapat yang salah bila ada yang meyakini bahwa di jaman internet, blog dan youtube, sekarang ini masih mungkin dapat menghalangi arus informasi, arus pandangan dan pendapat.

Lebih dari itu, masalah ini bukanlah masalah teknis. Redaktur, yang menghalangi pembacanya dari informasi dan pandangan yang berasal dari Israel, sesungguhnya mengejek dan merendahkan intelegensia para pembacanya. Sensor tidak resmi mengenai Israel pada dasarnya menjelaskan pada pembaca apa yang harus ia pikirkan. Sensor ini bertindak mewakili pembaca. Bukannya menampilkan pandangan luas dan membiarkan pembaca yang menyatakan siapa yang benar dan siapa yang salah, media malahan memutuskan bertindak mewakili para pembacanya.

Saatnya meninggalkan persepsi dan tradisi lama, dan membuka media pada debat pluralistik sebenarnya. Biarkan para pembaca menentukan sendiri siapa yang benar dan siapa yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar