Kamis, 05 Maret 2009

Parlemen Israel Mengangkat Seorang Menteri Muslim.

Untuk pertama kalinya setelah 58 tahun, Parlemen Israel akhirnya menunjuk seorang Arab Muslim dalam kabinet Israel. Langkah ini disambut banyak pihak sebagai tanda persamaan kedudukan bagi kaum minoritas di Israel, meski tentu saja masih ada kritik yang dilontarkan mengenai besar dan kecilnya kesempatan yang diberikan. Kabinet Israel pada hari Minggu mengumumkan penunjukkan Raleb Majadele, dan Knesset, Parlemen Israel menjadwalkan pengangkatannya pada hari Senin. Pengangkatan ini telah mengalami penundaan beberapa minggu karena perdebatan politik dalam masalah rasis. Hal ini memicu kecaman dari para anggota parlemen Arab yang mengatakan upaya ini bermuatan politis. Bahkan mereka meragukan perkembangannya, dengan mengatakan pemerintah hanya memiliki sedikit perhatian saja terhadap peningkatan dan kemajuan bangsa Arab Israel.


Majadele mengatakan pada AP Television News bahwa cita-citanya sebagai Menteri Kabinet adalah memajukan kerjasama antara ke dua pihak di dalam pemerintahan, meningkatkan dialog antara Palestina dan Israel melalui negosiasi dan perjanjian-perjanjian politik. Majadele, didukung partai Buruh, mengungkapkan pengangkatannya merupakan perwakilan 20% dari 7 juta penduduk negeri di Israel. “Pemerintahan saat ini sangat bangga dapat menjadi pemerintahan yang pertamakalinya memberikan kesempatan perwakilan di tingkat eksekutif kepada kaum minoritas Arab Muslim,” demikian diungkapkan Miri Eisin, juru bicara Perdana Menteri Ehud Olmert.

Parlemen Israel selalu memiliki perwakilan bangsa Arab, sekarang ini jumlahnya adalah 13 dari jumlah keseluruhan 120 orang. Namun negeri ini baru memiliki satu saja bangsa Arab yang menjadi Menteri Kabinet. Sebelumnya ada Salah Tarif, seorang Druze – yang diangkat pada tahun 2001, namun tak lama kemudian mengundurkan diri setelah dituduh melakukan korupsi.

Kolumnis Arab menentang Konferensi Iran

Wartawan Saudi : Nazi Baru bertemu di Teheran untuk menimbulkan kebencian, membuat propaganda dan mempertahankan kejahatan Nazi.

Oleh Yaakov Lappin

Sejumlah jurnalis Arab telah mengutuk konferensi penyangkalan Holocaust yang diadakan di Teheran pada bulan Desember tahun lalu. Tulisan mereka diterjemahkan oleh MEMRI (Pelayanan Penerjemahan di Timur Tengah). Seorang wartawan Saudi Yusuf Al-Sweidan menulis di surat kabar Kuwait al-Sayassah, menjelaskan bahwa para peserta konferensi disebutnya ‘Nazi Baru’. Al-Sweidan mengatakan bahwa para partisipan tersebut adalah “para ekstrimis baru yang bersorban” dan “tidak memiliki rasa malu membuka konferensi di Teheran pada 11 Desember 2006 dengan tujuan untuk menyebarkan kebencian dan propaganda tendensius sementara mempertahankan kejahatan Nazi yang sangat mengerikan…..”

Al-Sweiden juga menyangkal pernyataan Menteri Luar Negeri Iran, Manouchehr Mottaki, dan menilai penjelasan beliau tentang konferensi tersebut sebagai sesuatu yang “janggal”, “menggelikan” dan juga “menjijikan”. “Karena Teheran, seperti diketahui oleh semua orang, sesungguhnya bukanlah oasis kebebasan, demokrasi dan pluralisme ideologi, “ tulis Al-Sweidan. “Kurang nilai budaya dan kepekaan kemanusiaan,” Ditambahkannya pula, “Pemilihan waktu, target, topik konferensi dan (para individu) pembicara bermulut besar dan jahat yang berbicara di atas mimbar, menegaskan sepenuhnya bahwa 'Iran membahayakan seluruh Timur Tengah,' seperti dikatakan Tony Blair (Perdana Menteri Inggris). Ancaman ini menjadi sangat jelas ketika Iran menyebabkan kekacauan dan menyebarkan kekerasan dan teror melalui kakitangannya, agen dan sekutunya ...."

Wartawan Inggris Adel Darwish menulis di surat kabar London berbahasa Arab alSharq al-Awsat mengatakan bahwa Presiden Iran menyebabkan gangguan diplomatik pada negaranya sendiri karena menggelar konferensi seperti itu, khususnya pada masa sulit bagi hubungan luarnegeri Iran. Darwish menambahkan bahwa Ahmadinejad menyebabkan lebih banyak masalah pada kaum Muslim karena dia menciptakan atmosfir budaya politik kebencian yang menghalangi nilai-nilai kemanusiaan kaum Muslim sebagai sesama manusia. Kolumnis Kuwait, Dr Khaled al-Janfawi, juga menulis dalam al-Sayassah, bahwa "menyelenggarakan konferensi yang ditujukan untuk menyangkal Holocaust merefleksikan kurangnya budaya dan kepekaan manusiawi sebaliknya malah menambah kebencian pada sesama manusia…"

Dia menambahkan bahwa "Kami kaum Muslim perlu memperlihatkan kemanusiaan, kebudayaan, dan sensitifitas moral untuk menjadi dorongan positif didalam dunia kemanusiaan yang tidak lagi mendukung konflik etnis maupun agama. “

Israel diserang

Beberapa hari lalu, Negara Israel diserang dari utara. Serangan ini dilanjutkan dengan serangan teroris dari jalur Gaza. Dalam kedua peristiwa ini, serangan dimulai tanpa alasan dan benar-benar diarahkan kepada penduduk sipil di Israel yang tidak bersalah yang berada dalam wilayah kekuasaan teritorial Israel. Dalam kedua serangan baik utara maupun selatan, tidak ada klaim dari daerah regional ataupun elemen internasional manapun bahwa Israel berada dalam daerah kekuasaan yang diperselisihkan. Negara Israel tidak bisa menerima serangan ini. Israel tidak berkeinginan ataupun bermaksud melukai orang-orang Libanon orang-orang Palestina. Israel ingin hidup damai dan menjadi negara tetangga yang baik.

Sekali lagi daerah Timur Tengah telah menjadi ajang kekerasan akibat amukan para teroris; kali ini gerakan teroris dimulai dari Hamas di selatan sampai ke Hizbullah di utara. Hamas dan Hizbullah digerakkan oleh ideologi jihad ekstrim yang menyerukan kehancuran Negara Israel – tapi bukan cuma Israel saja. Hizbullah dan Hamas adalah bagian dari “perang suci” internasional melawan seluruh “kafir” dunia barat untuk memaksakan Islam radikal di seluruh dunia. Sekalipun demikian, kelompok-kelompok ini tidak mungkin ada tanpa dukungan Iran dan Suriah.

Enam tahun lalu Israel menarik mundur kekuatannya dari Libanon sesuai dengan perjanjian perdamaian yang disahkan oleh masyarakat dunia, sesuai dengan Resolusi 425 Dewan Keamanan PBB. Harus digarisbawahi : Selama enam tahun ini tidak ada kehadiran Israel, tidak ada pendudukan Israel di daerah Libanon. Namun demikian, krisis yang terjadi baru-baru ini dimulai dengan penembakan besar-besaran oleh Hizbullah ke daerah kekuasaan teritorial Israel, menyerang orang-orang penduduk sipil dan menculik 2 orang tentara Israel di dalam teritorial Israel.

Setahun lalu, di daerah perbatasan selatan Israel, Israel telah benar-benar menarik mundur kekuatannya dari Jalur Gaza. Israel telah mengevakuasi 21 perkampungan Yahudi dari daerah ini. Hal ini dilakukan agar memungkinkan Palestina bertanggungjawab atas teritorial ini dan memungkinkan pemerintahan Palestina membangun infrastruktur baru di sana sehingga dapat membangun masa depan yang lebih baik untuk rakyatnya. Namun pada pelaksanaannya, pemerintahan Hamas dengan segera mempergunakan daerah ini untuk menyerang penduduk Israel di daerah selatan.

Hizbullah dan Hamas memiliki kesamaan tujuan : ideologi yang menyerukan kehancuran Negara Israel. Israel tidak bisa dan tidak akan membiarkan warganya dijadikan sandera oleh organisasi teroris.

Suriah menjadi tempat markas besar sejumlah kelompok teroris jihad Palestina termasuk Hamas. Suriah menaungi dan menyediakan dukungan logistik kepada pemimpin Hamas, Khaled Mashaal. Dari Damascus, Mashaal memerintahkan para teroris di daerah Palestina melaksanakan serbuan terhadap Israel dan warganya, termasuk pengeboman daerah selatan Israel dengan misil Kasam, infiltrasi teroris dan penculikan tentara Israel Gilad Shalit. Suriah juga memberikan dukungan kepada Hizbullah, termasuk kiriman senjata, amunisi dan mata-mata lewat bandara udara Damascus dan menyebrangi perbatasan ke Libanon. Hizbullah tidak akan dapat beroperasi di Libanon tanpa dukungan Suriah.

Iran adalah penyokong Hizbullah, mendukungnya dalam pendanaan, persenjataan, petunjuk dan bahkan personil melalui Pejuang Revolusi Iran. Pada prinsipnya Hizbullah adalah sungguh-sungguh perpanjangan tangan regim jihad Teheran. Iran juga telah membuat pengaruh yang besar terhadap organisasi-organisasi teroris Palestina, termasuk kelompok Fatah al-Aqsa dan kelompok Hamas’Iz a-Din al-Kasam. Iran mendukung kegiatan teroris mereka dengan pendanaan, instruksi teknis dan petunjuk-petunjuk operasional.

Saatnya tiba kebenaran diungkapkan bagi semua pihak dan komunitas internasional yang mencari kedamaian dan stabilitas di Timur Tengah. Teroris adalah musuh perdamaian dan mereka sedang menyerang. Saatnya untuk pembela kedamaian bertindak. Saatnya untuk mengatakan “cukup”.

Ilan Ben-Dov
Duta Besar
Kedutaan Israel - Singapura

PM Olmert bertemu dengan Presiden Abbas - 24 Desember 2006


Kedua pemimpin mengakui bahwa baik rakyat Israel maupun Palestina telah sangat menderita dan tibalah kini saatnya untuk merealisasikan proses perdamaian dalam langkah-langkah nyata.


Perdana Menteri Ehud Olmert bertemu dengan pimpinan Palestina Presiden Mahmoud Abbas, kemarin malam, Sabtu 23 Desember 2006 di kediamannya di Yerusalem. Selama pertemuan ini, yang terlaksana dalam situasi yang baik dan sangat bersahabat, kedua pemimpin ini menyampaikan keinginannya untuk bekerjasama – sebagai rekan – dalam upaya meningkatkan proses perdamaian antara Israel dan Palestina, dan juga untuk mencapai kesepakatan agar kedua negara ini dapat hidup berdampingan dengan aman dan damai.

Kedua pemimpin mengakui baik rakyat Israel maupun Palestina telah sangat menderita dan kini tibalah waktunya untuk melancarkan proses perdamaian dengan langkah-langkah nyata dan menahan diri terhadap bentuk-bentuk pengulangan berbagai kesepakatan yang telah ditetapkan. Kedua pemimpin meyakini bahwa pertemuan ini adalah langkah awal dibangunnya kepercayaan serta hubungan kerjasama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Kedua pemimpin menekankan pentingnya kontak langsung dan sungguh-sungguh di antara kedua belah pihak, dan diputuskan untuk diadakannya pertemuan berkala sebagai kelanjutannya, dalam upaya mempercepat pelaksanaan masalah-masalah yang telah diagendakan.

Perdana Menteri Olmert menyampaikan pandangannya mengenai masih terus berlangsungnya peluncuran roket Kasam dari Jalur Gaza dan ia mengatakan bahwa Israel tidak dapat membiarkan pelanggaran gencatan senjata ini terjadi.

Kedua pemimpin menyepakati untuk mempertimbangkan perluasan daerah gencatan senjata sampai ke tepi barat, sesuai dengan perjanjian Sharm e-Sheikh February 2005.

Mereka menyepakati pula dimulainya komite gabungan, seperti disepakati sebelumnya dalam Sharm, di bawah wewenang Presiden Palestina untuk menangani masalah : mengawasi gencatan senjata, mempercepat proses pengalihan tanggung jawab keamanan atas daerah Palestina, serta implementasi rancangan yang telah disepakati berkenaan dengan pelarian dan pengungsi Palestina.

Disepakati pula untuk memulai komite keamanan 4 negara, antara Israel, Pemerintahan Palestina (melalui Pasukan Presiden), Mesir dan AS, termasuk penempatan Pasukan Presiden di sepanjang Corridor Philadelphia dan di daerah utara Jalur Gaza.

Perdana Menteri Olmert mengatakan pada Presiden Abbas bahwa ia mengerti sekali kepekaan masyarakat Palestina akan masalah para tahanan dan ia pun menjelaskan bahwa ia akan mempersiapkan diri membebaskan para tahanan Palestina setelah dibebaskannya Gilad Shalit. Diputuskan pula akan segera dimulainya kerja tim gabungan yang bertanggungjawab atas pengaturan dan ketentuan-ketentuan pembebasan para tahanan Palestina. Komite akan segera mulai bekerja dan melaporkan hasilnya kepada kedua pemimpin ini sesegera mungkin.

Perdana Menteri Olmert mengatakan bahwa Israel akan segera melaksanakan langkah-langkah nyata untuk bantuan kemanusiaan bagi rakyat Palestina. Sampai saat ini, Perdana Menteri telah memutuskan untuk mentransfer sejumlah tarikan pajak untuk disalurkan pada sejumlah rumah sakit di Palestina. Telah disetujui bahwa kesepakatan ini akan dikembangkan di masa yang akan datang dalam rangka pengembangan pelaksanaan bantuan kemanusiaan. Dijelaskan pula bahwa dana ini tidak akan dibekukan, dan tidak akan di transfer kepada pemerintah Palestina.

Kedua para pemimpin juga menyetujui upaya-upaya peningkatan di daerah perbatasan antara Jalur Gaza dan Israel untuk lintas barang dan orang yang lebih baik. Sampai saat ini telah ditetapkan untuk meningkatkan pemeriksaan keamanan di daerah perbatasan yang mencapai target 400 truk per hari di Jalur Gaza dan Israel untuk memungkinkan perdagangan di daerah Jalur Gaza, tepi barat dan Israel. Kedua pemimpin bersepakat memulai komite ekonomi gabungan. Perdana Menteri Olmert mengatakan pada Presiden Abbas, bahwa telah diadakan koordinasi dengan Menteri Pertahanan Amir Peretz, ia telah menginstruksikan IDF untuk memindahkan beberapa pos pemeriksaan di tepi barat untuk memudahkan rakyat Palestina yang tidak terkait dengan masalah terorisme.

Kesepakatan Hamas dan Fatah tidak sesuai dengan Persyaratan Komunitas Internasional

Latar Belakang

Kesepakatan antara Hamas dan Fatah yang dicapai di Mekkah tidak sesuai dengan persyaratan yang dikemukakan oleh kelompok Kuartet untuk pemerintahan Palestina. Sebaliknya, kesepakatan ini, sama halnya dengan pernyataan dan aksi Hamas, menunjukkan bahwa Hamas melanjutkan upayanya memperoleh pengakuan internasional tanpa membuat penyesuaian terhadap ideologi fundamentalnya, termasuk upayanya menghapuskan keberadaan Israel.

Merupakan pernyataan yang sangat jelas bahwa Hamas mendukung kekerasan, menentang solusi dua negara, menolak hak keberadaan Israel, serta keterlibatan langsungnya terhadap terorisme, sehingga menyebabkan komunitas internasional mengeluarkan tiga buah kondisi bagi pemerintahan Palestina untuk mempeoleh pengakuan dan kerjasama internasional. Yang harus dibuktikan perubahannya adalah Hamas, yang merupakan sebuah organisasi teroris. Dalam kenyataannya, seperti yang akan diungkapkan kemudian, pernyataan langsung dari pimpinan Hamas setelah kesepakatan tersebut tidaklah diragukan lagi, tidak menunjukkan adanya tindakan Hamas terhadap pengakuan prinsip-prinsip dasar perdamaian.

Kelompok Kuartet telah menuntut bahwa pemerintahan Palestina harus memiliki komitmen pada ketiga kondisi yang dimaksudkan dan bahwa ‘tidak boleh beranggotakan’ siapapun yang tidak memihak pada komitmen tersebut. Keterlibatan pada pemerintahan, kebijakan yang tidak berdasarkan komitmen pada prinsip-prinsip yang dimaksud, tidaklah sesuai dengan tuntutan kelompok Kuartet.

Sekarang ini tidak ada platform kesepakatan atau ikatan kesepakatan berkenaan dengan kebijakan pemerintahan selanjutnya. Surat penunjukkan dari Pemerintahan Palestina Presiden Mahmoud Abbas, termasuk dalam kesepakatan Hamas – Fatah yaitu mengundang pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dalam membentuk pemerintahan, tidaklah menunjukkan konstitusi platform politik pemerintahan selanjutnya dan tidak dapat dinilai mewakili pemenuhan kondisi yang seharusnya pemerintahan Palestina penuhi.

Bahkan surat ikatan komitmen yang mencerminkan kebijakan dari pemerintahan baru, tidak sesuai dengan ketiga persyaratan mendasar yang berulangkali dinyatakan oleh kelompok Kuartet : pengakuan terhadap keberadaan Israel, dihapuskannya terorisme dan kekerasan, dan pengakuan terhadap kesepakatan-kesepakatan serta kewajiban-kewajiban sebelumnya, termasuk Roadmap.

1. Pengakuan terhadap keberadaan Israel

Persyaratan kelompok Kuartet memandang tidak ada harapan bagi solusi dua pemerintahan, kalau yang satu tidak mengakui hak yang lainnya. Pengakuan terhadap hak keberadaan Israel merupakan persyaratan penting bagi pihak Palestina manapun dalam mencapai perdamaian.

Surat penunjukkan Hamas-Fatah tidak mengandung pengakuan terhadap keberadaan Negara Israel. Bahkan, kata ‘Israel’ tidak muncul dalam dokumen. Kesepakatan PLO – Israel pun hanya dituliskan ‘kesepakatan yang ditandatangani oleh PLO’

Fakta bahwa Hamas tidak mengubah kekerasan pendiriannya pada masalah ini secara mudahnya terlihat seperti yang ditekankan oleh penasehat Ismail Haniyeh, Ahmed Youssef hanya beberapa hari setelah kesepakatan dicapai :

“Masalah pengakuan ini tidak dibahas di Mekkah. Dalam platform pemerintahan baru tidak ada tanda-tanda pengakuan (akan Israel), dengan mengabaikan tekanan dari Amerika Serikat maupun desakan kelompok Kuartet” (Reuters 10 Februari 2007)

Hal yang serupa dikatakan pula oleh jurubicara Hamas, Ismail Radwan, yang menekankan bahwa kesepakatan tidak mengubah penolakaan Hamas atas Israel.

Kesepakatan yang dicapai di Mekkah tidaklah berarti pengakuan atas Israel…. Posisi Haman adalah tetap dan sudah dikenal yaitu tidak mengakui keberadaan kaum Zionis …. (dalam wawancara dengan Kantor Berita Perancis, 9 Februari 2007)

2. Penghapusan terorisme dan kekerasan

‘Kedua negara hidup berdampingan dalam keadaan damai dan aman’ tidaklah akan tercapai bila salah satu pihak tetap meprobokasi tindakan teror. Untuk alasan ini, kelompok Kuartet telah berulangkali menekankan bahwa Pemerintahan Palestina segera menghapuskan tindakan terorisme dan kekerasan.

Surat penunjukkan yang dibuat tidak menunjukkan penahanan diri terhadap bentuk terorisme dan kekerasan. Malah sebaliknya, surat tersebut mengajak pemerintahan baru berkomitmen pada National Conciliation Document. Dokumen ini yang akan dicekal, secara eksplisit mengakui penggunaan kekerasan dan terorisme, mengajak tiap partai ‘menegakkan perlawanan … bersamaan dengan kegiatan politik’ (artikel 3) dan ‘ memimpin serta terlibat dalam perlawanan melawan pendudukan’ (artikel 10). Panggilan ini, tentu saja, secara langsung merupakan kontradiksi pada kewajiban Palestina terhadap kesepakatan-kesepakatan sebelumnya, termasuk Roadmap, yang menyebutkan, inter alia, penghentian segera terhadap ‘kegiatan bersenjata dan semua tindakan kekerasan terhadap bangsa Israel dimanapun’.

Penolakan Hamas terhadap penghapusan kekerasan secara jelas dinyatakan oleh perwakilan Hamas di Libanon, Usama Hamdan :

“Setiap orang tahu bahwa kondisi yang diperlukan oleh sebuah pemerintahan dan dimulainya perekonomian adalah dengan mengakhiri kekerasan dan perlawanan. Kami tekankan bahwa perlawanan akan terus dilakukan dan kami telah menyatakannya dalam aksi seperti penangkapan tentara Israel Shalit, dan juga aksi-aksi lain melawan pendudukan yang agresif…. Hamas masih memperlihatkan perlawanan sebagai pilihan strategis dan tidak akan membuat kelonggaran – dan jika Allah berkenan, mereka akan menjadi pemenang di Palestina.” (dalam wawancara dengan stasiun radio Al-Manar, 14 Februari 2007)

Dalam prakteknya, Hamas tidak menunjukkan indikasi keinginan menghapuskan kekerasan. Berkelanjutan terus dengan penyanderaan Gilad Shalit, penyelundupan senjata ilegal dan peledakan di daerah teritorial, serta mengagungkan tindak terorisme dan kekerasan. Selain dari itu, tidak ada pula kendali untuk mengimplementasikan kewajiban Palestina dalam mencegah aksi-aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok di Palestina sendiri, termasuk peluncuran misil Kasam ke kota-kota dan desa-desa di Israel. Sebaliknya, juru bicara pemerintahan Hamas malah telah membuat pernyataan yang menjelaskan bahwa mereka mendukung serangan-serangan tersebut dan tidak berkeinginan dalam segi apapun untuk mencegahnya.

3. Pengakuan terhadap kesepakatan-kesepakatan serta kewajiban-kewajiban sebelumnya, termasuk Roadmap

Kelompol Kuartet telah berulangkali mendesak bahwa pemerintahan Palestina manapun harus menerima kewajiban dan kesepakatan Palestina sebelumnya, termasuk Roadmap. Kesepakatan ini mencerminkan negosiasi sesungguhnya dan persetujuan oleh kedua belah pihak. Tidak ada artinya bekerja sama untuk kesepakatan baru dengan rekan yang mengingkari kesepakatan bersama sebelumnya.

Surat penunjukkan mengajak pemerintahan baru ‘menghormati kesepakatan yang telah ditandatangani oleh PLO’, namun ini tidak sesuai dengan persyaratan Kelompok Kuartet dengan beberapa alasan :

a. Penghormatan terhadap kesepakatan disebutkan ‘berdasarkan’ kepentingan nasional tertinggi Palestina dan dokumen lainnya, termasuk National Conciliation Document yang telah disebutkan di atas, mengakui dan mengajak aksi teror.

Ketetapan yang dibuat untuk menghormati kesepakatan berubah karena pertimbangan-pertimbangan lain yang secara selektif mengurangi pengakuan bagian-bagian kesepakatan yang tidak bertentangan dengan tujuan ekstrim jangka panjang Hamas.

Fakta yang disebut ‘penghormatan’ terhadap kesepakatan tak ada artinya dalam praktek seperti yang secara eksplisit disampaikan oleh Khalil Abu Leila, dari biro politik Hamas. Saat ditanya apakah Hamas berkomitmen pada kesepakatan PLO, beliau menjawab :

“Hanya dalam segala hal yang tidak bertentangan dengan kepentingan rakyat Palestina. Hal ini sangat penting. Kami sebagai orang Palestina dapat bernegosiasi dengan bantuan saudara-saudara kita bangsa Arab dan berkata: “Di manakah kepentingan tertinggi rakyat Palestina? Jika kami dapat menyetujuinya, kami akan bertindak sesuai dengan kesepakatan tersebut. Perlu saya jelaskan bahwa cara yang ditempuh pemerintahan terdahulu, berdasarkan kesatuan Palestina, sudah pada arah yang tepat, untuk kepentingan tertinggi rakyat Palestina. Jikalau kami dapat menemukan kepentingan ini dalam kesepakatan (yang ditandatangani oleh PLO) kami akan mengikutinya. Namun jika kepentingan ini terdapat dalam hal lain kami akan mengabaikannya (kesepakatan tersebut) dan kembali pada jihad (perang) atas penindasan musuh kaum Zionis. (wawancara dengan BBC dalam bahasa Arab, 16 Februari 2007)

b. Sementara perkataan ‘penghormatan’ tampaknya menunjukkan komitmen pada kesepakatan, desakan dari pemimpin Hamas dengan tidak menggunakan kata ‘hormat’ ataupun ‘komitmen’, seperti yang dituntut oleh kelompok Kuartet, menunjukkan bahwa mereka cenderung menginginkan sesuatu yang lebih tidak terikat. Moussa Abu Marzouk, Kepala Deputi Biro Politik Hamas menekankan pentingnya perbedaan ini dalam beberapa hari setelah kesepakatan ;

“Ada beberapa pembicaraan terinci mengenai masalah ini, dalam hal penggunaan kata ‘menghormati’ dan ‘berkomitmen’ dan sangatlah jelas bagi semuanya bahwa Hamas tidak dapat berkomitmen pada sesuatu yang tidak termasuk dalam posisi politis yang mewakili masalah tersebut…. Kenyataan yang menunjukkan Abu Mazen menerima kata ‘menghormati’ pada surat penunjukkan membuat kontribusi yang penting bagi suatu perubahan. (wawancara di website Hamas 17 Februari 2007)

Perbedaan antara istilah ‘menghormati’ dan ‘berkomitmen’ lebih sering dimunculkan setelahnya, sama halnya dalam surat undangan, kata ‘berkomitmen’ digunakan – untuk menunjukkan hubungan antara komitmen pemerintahan baru terhadap ‘kepentingan tertinggi’ rakyat Palestina dan dalam dokumen lainnya, termasuk National Conciliation Document.

Sebagai tambahan, hal ini dicekal kelompok Kuartet sebab penghormatan bukan hanya pada kesepakatan, namun juga pada kewajiban, termasuk ‘Roadmap’, karena Roadmap bukan hanya merupakan kesepakatan yang ditandatangani secara formal oleh kedua pihak. Tidak terlibatnya salah satu pihak pada Roadmap akan menimbulkan masalah dalam hal ketetapan yang telah dicanangkan.

c. Pernyataan oleh pemimpin Hamas telah menjelaskan perlawanan fundamental Hamas terhadap kesepakatan Israel-Palestina yang tetap tidak berubah. Usama Hamdan, perwakilan Hamas di Libanon, menyampaikan kembali pernyataan ketidaksepakatannya :

“Semua kesepakatan dalam masalah pendudukan adalah kesalahan sejarah karena adanya pengakuan pendudukan dan oposisi untuk pertahanan selanjutnya.” (wawancara dengan stasiun radio Al-Manar 14 Februari 2007)

d. Aksi-aksi Hamas juga menyangkal setiap saran yang disiapkan untuk memenuhi ketetapan dari kesepakatan yang telah dicapai oleh PLO dan Israel. Kesepakatan ini menuangkan kewajiban-kewajiban, inter alia, menuntut pihak Palestina :

- mengambil tindakan tarhadap segala bentuk kekerasan dan terorisme (lihat Interim Agreement, Annex1, Article2; Wye River Memorandum paragraph A; Roadmap, phase1)

- mengendalikan individu maupun kelompok yang mengadakan maupun merencanakan serangan kekerasan terhadap orang-orang Israel di manapun (Roadmap, Phase1)

- menyita semua senjata dan amunisi ilegal (Sharm e-Sheik Memorandum, Para.8; Roadmap, phase1)

- menghormati norma yang telah diterima secara internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (Interim Agreement, Article XIX)

- meningkatkan pengertian yang saling menguntungkan, abstain dari hasutan dan menekankan sistem pendidikan yang berkontribusi pada perdamaian antara orang-orang Israel dan Palestina (Interim Agreement XXII)

Saran-saran yang Hamas hormati adalah kesepakatan-kesepakatan yang bertentangan, yaitu dengan terus menerus menyelundupkan senjata ilegal, mengagungkan kekerasan dan teror, menghasut Israel, dan melakukan kejahatan terhadap hak asasi manusia fundamental rakyat Palestina yang masih terjadi sampai sekarang.

Kesimpulannya, bukti menunjukkan bahwa Hamas tidak berubah, baik dalam masalah prinsip maupun dalam praktek, dalam upaya memenuhi persyaratan komunitas internasional yang dikeluarkan oleh kelompok Kuartet, maupun dalam menyesuaikan diri dengan platform politik pemerintahan Palestina yang berkomitmen pada ketentuan-ketentuan ini. Malah sebaliknya, Hamas menunjukkan penolakan atas persyaratan ini seperti yang disampaikan oleh Khalil Abu Leila, dari biro politik Hamas, hanya beberapa hari setelah kesepakatan dicapai :

“Saya rasa kesepakatan Mekkah adalah sebuah sukses, karena tujuannya tercapai, namun secara prinsip Hamas akan tetap pada posisinya untuk meningkatkan kepentingan rakyat Palestina. Akan tetap berjuang untuk tidak menyerah dan tunduk pada kondisi yang ditentukan oleh kelompok Kuartet.” (wawancara dengan BBC bahasa Arab 16 Februari 2007)

Kondisi yang dikeluarkan oleh kelompok Kuartet, yang tetap ditolak oleh Hamas, bukanlah hambatan untuk mencapai perdamaian, namun menjadi ujian yang paling mendasar yang melaluinya komunitas internasional dapat menilai apakah pemerintahan Palestina mampu menjadi rekan dalam menciptakan perdamaian. Sepertinya mereka berkeberatan pada negosiasi dab tidak dapat dipuaskan denga formula samar-samar atau interpretasi yang penuh harapan.

Bagaimana mungkin pemerintahan yang menolak prinsip-prinsip dasar untuk mencapai perdamaian akan menerima pengakuan dan dukungan dari dunia internasional. Dalam upaya memperoleh perdamaiana, ini merupakan situasi yang mengerikan, merupakan pengkhianatan terhadap para moderat, bagi kedua belah pihak, yang dengan sungguh-sungguh menyakini solusi dua negara membawa konflik dan membawanya pada realita.